Menurut riwayat, Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari pernah bertemu dengan Datu Sanggul sewaktu masih menuntut ilmu di
Mekkah. Dalam beberapa kali pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan
diskusi masalah ilmu ketuhanan. Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian
ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong.
Siapakah Datu Sanggul?
Berdasarkan tutur lisan yang berkembang
dalam masyarakat dan beberapa catatan dari beberapa orang penulis buku,
sepengetahuan penulis setidaknya ada tiga versi yang menjelaskan tentang sosok
dan kiprah Datu Sanggul.
Versi Pertama menyatakan bahwa
Datu Sanggul adalah putra asli Banjar. Kehadirannya menjadi penting dan lebih
dikenal sejarah lewat lisan dan berita Syekh Muhammad. Arsyad yang bertemu
dengannya ketika beliau masih belajar di Mekkah. Dalam suatu riwayat
diceritakan bahwa Datu Sanggul pernah berbagi ilmu dengan Syekh Muhammad Arsyad
dan melahirkan satu kitab yang disebut dengan kitab Barencong yang
isinya menguraikan tentang ilmu tasawuf atau rahasia-rahasia ketuhanan dan
sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan serta diragukan keberadaannya,
karena tidak pernah ditemukan naskahnya. Namun walaupun demikian pengertian
dari kitab Barencong itu sendiri dapat kita tinjau dan pahami dari dua sisi,
yakni pemahaman secara tersurat dan secara tersirat. Secara tersurat boleh jadi
kitab tersebut memang ada, berbentuk seperti umumnya sebuah buku dan ditulis
bersama sebagai suatu konsensus keilmuan oleh Syekh Muhammad Arsyad dan Datu
Sanggul (hal ini menggambarkan adanya pengakuan dari Syekh Muhammad Arsyad akan
ketinggian ilmu tasawuf Datu Sanggul).
Kemudian secara tersirat
dapat pula dipahami bahwa maksud kitab Barencong tersebut adalah simbol dari
pemahaman ketuhanan Syekh Muhammad Arsyad yang mendasarkan tasawufnya dari
langit turun ke bumi dan simbol pemahamanan tasawuf Datu Sanggul dari bumi naik
ke langit. Maksudnya kalau Syekh Muhammad Arsyad belajar ilmu ketuhanan dan
tasawuf berdasarkan ayat-ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Saw dan
tergambar dalam Shirah hidup beliau, sahabat dan orang-orang sholeh sedangkan Datu
Sanggul mengenal hakikat Tuhan berdasarkan apa-apa yang telah diciptakan-Nya
(alam), sehingga dari pemahaman terhadap alam itulah menyampaikannya kepada
kebenaran sejati yakni Allah, karena memang pada alam dan bahkan pada diri
manusia terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi mereka yang mentafakurinya.
Dengan kata lain ilmu tasawuf Datu Sanggul adalah ilmu laduni yang telah
dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Karena itulah orang yang ingin mempelajari
ilmu tasawuf pada dasarnya harus menggabungkan dua sumber acuan pokok, yakni
berdasarkan wahyu (qauliyah) dan berdasarkan ayat-ayatNya “tanda-tanda” (qauniyah) yang terpampang jelas pada alam atau makhluk ciptaanNya.
Versi Kedua, menurut Zafri Zamzam
(1974) Datu Sanggul yang dikenal pula sebagai Datu Muning adalah ulama yang
aktif berdakwah di daerah bagian selatan Banjarmasin (Rantau dan sekitarnya),
ia giat mengusahakan/memberi tiang-tiang kayu besi bagi orang-orang yang
mendirikan masjid, sehingga pokok kayu ulin besar bekas tebangan Datu Sanggul
di Kampung Pungguh (Kabupaten Barito Utara) dan pancangan tiang ulin di
pedalaman Kampung Dayak Batung (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) serta makam
beliau yang panjang di Kampung Tatakan (Kabupaten Tapin) masih dikenal hingga
sekarang. Salah satu karya spektakulernya yang masih dikenang hingga kini
adalah membuat tatalan atau tatakan kayu menjadi soko guru
masjid desa Tatakan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga
ketika membuat soko guru dari tatalan kayu untuk masjid Demak. Tidak ada yang
tahu siapa nama asli tokoh ini, sebutan Datu Sanggul adalah nama yang diberikan
oleh Syekh Muhammad Arsyad ketika beliau menjawab tidak memakai ilmu atau
bacaan tertentu, kecuali “hanya menjaga keluar masuknya nafas, kapan ia masuk
dan kapan ia keluar”, sehingga dapat secara rutin pulang pergi sholat ke
Masjidil Haram setiap hari Jumat.
Versi ketiga, berdasarkan buku
yang disusun oleh H.M. Marwan (2000) menjelaskan bahwa nama asli Datu Sanggul
adalah Syekh Abdus Samad, ia berasal dari Aceh (versi lain menyebutkan dari
Hadramaut dan dari Palembang). Sebelumnya Datu Sanggul sudah menuntut ilmu di
Banten dan di Palembang, ia menjadi murid ketiga dari Datu Suban yang merupakan
mahaguru para datu yang ahli agama dan mendalami ilmu Tasawuf asal Pantai Jati
Munggu Karikil, Muning Tatakan Rantau. Informasi lain yang berkembang juga ada
yang menyatakan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Ahmad Sirajul Huda atau
Syekh Jalil. Datu Sanggul atau Syekh Abdus Samad satu-satunya murid yang
dipercaya oleh Datu Suban untuk menerima kitab yang terkenal dengan sebutan
kitab Barincong, beliau juga dianggap memiliki ilmu kewalian, sehingga
teristimewa di antara ketigabelas orang murid Datu Suban.
Datu Sanggul lebih muda
wafat, yakni di tahun pertama kedatangan Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Banjar.
Berkat keterangan Syekh Muhammad Arsyad-lah identitas kealiman dan ketinggian
ilmu Datu Sanggul terkuak serta diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mereka
yang asalnya menganggap “Sang Datu” sebagai orang yang tidak pernah shalat
Jumat sehingga tidak layak untuk dimandikan, pada akhirnya berbalik menjadi
hormat setelah diberitakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sosok Datu Sanggul yang
sebenarnya.
Banyak cerita yang lisan
yang beredar di masyarakat berkenaan dengan keramat Datu Sanggul. Diceritakan bahwa
Kampung Tatakan pernah dilanda Banjir, akibat hujan lebat, sehingga jalan-jalan
di Kampung tergenang oleh air. Pas ketika hari Jumat, biasanya orang kalau
mengambil air wudhu di sungai yang mengalir, dengan duduk di batang. Tetapi
ketika Datu Sanggul datang dan berwudhu dalam penglihatan orang-orang di masjid
beliau menceburkan diri ke sungai, tetapi anehnya ketika naik, badan beliau
tidak basah.
Jamaah Masjid juga pernah
menyaksikan ketika shalat, dalam beberapa menit tubuh Datu Sanggul melayang di
udara dan hilang dari pandangan orang banyak. Riwayat juga ada menceritakan
tentang berpindah-pindahnya kuburan dari Datu Sanggul dari beberapa tempat,
sampai yang terakhir di Tatakan.
Berdasarkan paparan di
atas menjadi satu catatan penting, untuk menggagas kembali penelitian sejarah
yang mengungkapkan riwayat hidup tokoh sentral masyarakat Tapin ini secara
detail, guna melengkapi dan memperkaya khazanah tulisan-tulisan yang sudah ada
mengenai riwayat hidup, sejarah perjuangan dan kiprah beliau di Bumi Kalimantan,
seperti “Riwayat Datu Sanggul dan Datu-Datu” oleh sejarawan Banjar Drs. H. A.
Gazali Usman, atau pula “Manakib Datu Sanggul”, oleh H.M. Marwan. Tenut saja,
agar generasi yang hidup di masa sekarang dan masa mendatang tidak pangling
terhadap sejarah dan tokoh yang menjadi “maskot” daerah mereka. Dalam artian
bukan maksud untuk mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan mereka, tetapi
untuk mengikuti jejak hidup, perjuangan dan akhlak postif sesuai prinsip ajaran
agama yang telah ditorehkannya. Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar